Bagaimana
bisa sebuah pertemuan tanpa sengaja mengubah segalanya? Sebuah percakapan tanpa
sengaja pun dimulai. Dua insan yang pada awalnya tidak saling kenal bisa
menjadi begitu dekat hanya lewat pertemuan tak disengaja itu. Tak terbesit
sedikit pun bahwa pertemuan itu menjadi awal dari segalanya. Segala yang baru
yang kupikir telah mati dalam diriku.
Tak
ada yang istimewa dari pertemuan itu, tapi ketika diingat pertemuan itu menjadi
begitu berkesan. Tak ada yang spesial yang dibahas ketika percakapan tak
disengaja itu, hanya percakapan basa-basi antara orang yang baru saling
mengenal. Pada awalnya, tak ada yang aneh diantara kita. Semuanya berjalan
seperti lazimnya pertemanan biasa.
Sebelumnya,
tak pernah kudengar namanya disebut orang. Tapi setelah mengenalnya, aku banyak
mendengar orang menyebut namanya. Dia memang bukan orang sembarangan. Anak
basket, berbadan proporsional, tinggi, pintar, baik, begitulah orang
mengelu-elukan sosoknya. Bukan hanya pujian, tetapi juga banyak omongan miring
tentangnya. Playboy, tukang PHP, suka permainkan perempuan, begitulah sebagian
orang menyebutnya.
Tak
ada satupun dari pembicaraan orang-orang aku simak dengan baik. Karena pada
dasarnya, aku tak peduli tentang bagaimana orang menilai dirinya. Aku ingin
mengenalnya sendiri dengan mata kepalaku sendiri. Dia memang pujaan hampir
semua wanita. Hanya saja mungkin banyak yang merasa dikecewakan olehnya karena
dianggap memberi harapan palsu. Seperti yang pernah dia katakan “Tidak akan ada
yang namanya harapan palsu kalau tidak ada yang berharap”. Kali ini aku setuju
dengan kata-kata itu. Tetapi sayangnya, tak semua orang berpikiran sama seperti
itu.
Pertemuan
tak disengaja itu memang tak begitu banyak membawa perubahan. Kami pada
dasarnya hanyalah sebatas teman. Bahkan tak pernah bertemu atau saling sapa di
sekolah. Tapi semuanya tak berhenti disitu. Ada kesempatan lain yang datang dan
pertemuan itulah yang memberi lebih banyak perubahan.
Saat
itu, tiba-tiba aku dipilih menjadi panitia sebuah lomba basket yang diadakan
sekolahku. Dalam acara tersebut, pasti tim basket sekolahku main dan pasti dia
juga ikut main. Disitulah ceritanya berlanjut. Aku masih ingat betapa
canggungnya kami ketika saling sapa. Bagaimana kakunya aku saat berbicara
dengan nya di acara itu semuanya masih teringat jelas.
Percakapan
basa-basi pun dimulai. Semuanya aku jawab sepengetahuanku. Tanpa sadar, aku
selalu mencari cara bagaimana bisa menonton dia saat bermain. Aku tau
permainannya masih belum sebagus atlet basket profesional. Tapi, semuanya
berkat belajar kan. Tak ada yang instan. Semua atlet profesional yang kita
lihat telah sukses sekarang, pasti juga pernah mengalami masa-masa belajar,
masa-masa gagal. Tapi semua kegagalan bukan untuk disesali melainkan untuk
motivasi agar bisa menjadi lebih baik.
Masih
belum terpikir olehku semuanya akan menjadi panjang seperti sekarang. Ketika
tanpa sadar, aku nyaman dengan keadaan dia ada di dekatku. Dia bukan orang yang
selalu ada di sebelahku ketika aku butuhkan. Dia juga bukan seperti pahlawan
yang siap membantu setiap kali aku ada masalah. Dia bukan seperti gambaran
lelaki sempurna seperti yang dielu-elukan perempuan lain. Dia juga bukan lelaki
brengsek seperti yang dikatakan orang-orang.
Bukan
hanya 1 atau 2 orang yang memperingatiku untuk berhati-hati. Jangan sampai aku
sakit hati karena cinta yang bertepuk sebelah tangan. Aku tidak menolak
perkataan mereka mentah-mentah atau memilih menerima kata-kata mereka. Aku
hanya membiarkan semuanya mengalir seperti bagaimana harusnya. “If it meant to
be, it will be”. Itulah yang selalu aku katakan pada diriku sendiri.
Aku
tau begitu banyak perempuan yang mengidolakan dia, aku juga tau ada yang iri
melihatku. Mereka ingin berada di posisiku. Tapi percayalah, aku tak bermaksud
untuk menyakiti mereka. Aku ingin mengikuti kata hatiku. Tapi aku tak berusaha
untuk memiliki harapan lebih. Terlalu cepat untuk aku meyakinkan diriku bahwa
akulah perempuan yang dia butuhkan. Apalagi saat melihat dia bersama yang lain,
aku takut suatu saat dia menemukan yang lebih dan beralih.
“Tidak
akan ada harapan palsu jika tidak ada yang berharap” itulah yang harus aku
ingat selalu. Aku tak mau nanti harapan yang telah ada tiba-tiba hilang hanya
karena kecerobohanku yang begitu cepat menumpukan harapan. Jika dia memang
memilihku, tanpa adanya harapan dia akan tetap bersamaku. Egois memang aku
menjaga hatiku sendiri tanpa memikirkan dia. Tapi aku hanya berusaha untuk
melindungi perasaanku sendiri. Karena bagaimana pun aku belum yakin bahwa dia
memilihku. Tak ada alasan yang kuat bagiku untuk meyakinkan bahwa aku pantas.
Dan
dia juga pernah bilang selesaikan dulu masalahku dengan seseorang yang
sebenarnya aku kenal di waktu yang hampir bersamaan dengannya. Aku memang lebih
dulu dekat dengan seseorang ini daripada dia. Sebut saja namanya ‘X’. Mungkin
memang aku dan ‘X’ sering terlihat bersama. Aku tau bahwa ‘X’ sangat
menyayangiku. Tak bisa aku pungkuri, aku tak ingin ‘X’ mengambil jalan hidup
yang salah. Aku peduli padanya. Tapi aku tak ingin dia pergi karena merasa ‘X’
lebih pantas untukku atau alasan sebagainya yang berhubungan dengan ‘X’.
Pada
dasarnya, bagiku mereka bukanlah pilihan. Aku tak ingin salah satu dari mereka
pergi atau semacamnya. Mungkin lebih tepatnya menghindariku karena melihatku
telah bersama yang lain. Aku tak tau apa yang ada di pikiran dia tentang ini.
Begitu juga di pikiran ‘X’. Bahkan apa yang ada di pikiranku sendiri aku tak
mengerti. Aku harus memilih di antara 2 orang yang seharusnya menurutku mereka
bersama-sama bukan malah saling bersaing seperti ini. Semuanya semakin
membingungkan ketika keduanya berusaha menjadi dewasa dengan menyuruhku untuk
tidak memilih diri mereka sendiri. Apa itu pikiran yang dewasa atau
kekanak-kanakan ntah la.
Pada
akhirnya, aku harus memprioritaskan salah satunya. Dan tanpa sadar, hatiku
telah menentukan mana yang ia prioritaskan. Tapi justru setelah aku memilih,
aku takut untuk berharap. Bukan hanya 1 atau 2 kali dia mengatakan sayang. Dan
dari awal semua ungkapan perasaannya tak ada yang benar-benar aku anggap bercanda.
Hanya saja aku berusaha untuk tidak mengindahkannya. Tapi semakin lama, timbul
perasaan ingin memberi sinyal positif terhadap apa yang dia ungkapkan.
Aku
memang tak berani mengungkapkan secara langsung. Aku terlalu takut jika aku
salah mengira. Karena kalau memang seperti itu, berarti nasibku sama saja
seperti perempuan-perempuan lainnya. Yang aku lakukan hanya menunggu dan
melihat bagaimana setiap perubahan yang ada.
Semakin
hari kita semakin canggung dan seakan-akan kehabisan bahan. Aku gak tau kenapa
apa karena kita yang sudah terlalu dekat atau bagaimana. Tanpa sadar, beberapa
kali aku tak bisa mengontrol perasaanku sendiri. Perasaan-perasaan aneh muncul
dan itu yang kadang mengganggu suasana obrolan kami. Apa dia juga merasakan hal
yang sama? Aku tak mengerti apa yang terjadi sebenarnya.
Aku
tak ingin mengharapkan sesuatu yang tak mungkin. Tapi untuk saat ini aku hanya
berharap agar dia bisa menjadi seperti dulu lagi. Mungkin tak ada yang berubah
secara signifikan diantara kita hanya saja sudah terlalu dekat dan semakin hari
semakin tak jelas bagaimana hubungan ini sebenarnya. Semakin canggung karena
perasaan yang ada selalu ditutupi karena takut disakiti.
Begitulah
pada akhirnya. Cerita ini jika memang tak memungkinkan untuk dilanjutkan,
biarkan saja cerita ini mengambang tanpa ujung dan menjadi khayalanku belaka.
Karena pada kenyataannya, bisa berkenalan dengannya saja sudah menjadi bagian
dari mimpi indah yang tak pernah terbayangkan olehku. Apalagi menjadi dekat
seperti ini, tak pernah terpikirkan sedikit pun olehku.